Tahanlah Laju Matahari
Lukman Chamdani, Krian-Sidoarjo
Alkisah, seorang pemuda yang berkeinginan mengajak seorang ulama untuk meninggalkan sejenak ibadahnya dan menemani pemuda tersebut bersenang-senang. “wahai ulama! Tidakkah engkau bosan beribadah terus-menerus siang malam dan terus berdzikir? Berhentilah sejenak! Temanilah aku bersenang –senang!” kata si pemuda. Maka ulama itu pun menjawab ”aku baru mau berhenti beribadah dan menemanimu bersenang-senang asal kau menahan dulu laju matahari untukku!”.*
Maksud yang tersirat dalam kisah diatas adalah matahari terus melaju tanpa dapat dihentikan sejenakpun oleh semua makhluk kecuali seizin Allah SWT. Begitu pula waktu tiada yang mampu menahan, memberhentikan, memulai, memperlambat dan mempercepatnya. Itu semua menjadi kewenangan Allah SWT. Maka sebagai hambanya, mengapa kita menghentikan ibadah yang merupakan tanda syukur kita pada Allah? Mengapa kita menunda pengabdian diri kepada-Nya? Seakan-akan waktu yang terus berjalan tidak berarti apa-apa, apakah kita dapat menahan lajunya dan mampu melawan kehendak Allah SWT? Padahal Allah telah berfirman dalam surat Al-Qoshosh Ayat 88: “Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala wewenang, dan Hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”
Kegemerlapan dunia telah memperbudak kita. Dalam mengerjakan perkara duniawi kita merasa ringan dan mudah. Sebaliknya, saat kita berdiri untuk beribadah terasa berat dan melelahkan meskipun sejenak. Padahal tidak sedikit nikmat yang telah dianugrahkan Allah pada kita untuk kita manfaatkan dalam bentuk usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun percaya atau tidak kita sering menunda-nunda dalam berbuat amal kebaikan sebagai bentuk syukur kepada-Nya.
Seorang khalifah Bani Abbasiyyah pernah berkata pada salah seorang temannya: ”Segeralah kamu melakukan amal kebaikan sebab dunia sangat cepat perputarannya dan masapun memiliki kewenangan meninggalkan seorang lelaki dalam suatu keadaan saja”.** Artinya, tidak selamanya kita berkesempatan melakukan amal baik. Pasti ada waktunya kita dalam posisi tidak berdaya. Contoh: Saat harta kita melimpah kita tidak melakukan amal kebaikan, maka bisa jadi kita jatuh, kehilangan semua harta benda kita. Bisa juga saat kita memiliki kedudukan, tidak kita manfaatkannya sebaik mungkin, maka sangatlah mungkin bila kemudian kita terjatuh dalam keterhinaan.
Tentu sangatlah rugi bila di saat kenikmatan belum meninggalkan diri kita tidak disyukuri dengan giat beribadah untuk mendekatkan diri kita kepada Allah. Bahkan tak jarang kenikmatan-kenikmatan yang telah ada malah menjerumuskan kita dalam tingkah laku dan perbuatan yang sama sekali tidak mencerminkan terima kasih kita kepada Allah. Lebih banyak mana perbandingan antara syukur dan kufur kita terhadap Allah? Jawaban pastinya adalah kita lebih sering kufur, lupa terhadap segala pemberian Allah.
Kita pantas mendapat acungan jempol dalam hal tidak bersyukur pada Allah, Juara satu dalam hal bermaksiat kepada Allah, dan medali emas dalam hal melupakan Allah. Bila kita bangga dengan hal tersebut, pastilah ada yang tidak beres, suatu kerusakan dalam otak dan hati kita. Sebagai hamba yang lemah sama sekali tak pantas bagi kita untuk kufur, bermaksiat, dan lalai terhadap kewajiban kita beribadah.
Ingatlah! Di saat-saat kita mendapat kesusahan, kita beristighfar, bertaubat, dan menangis dalam sujud-sujud yang biasanya kita tinggalkan. Namun, setelah lewat deraan masalah, kita kembali lagi pada prilaku kita sebelumnya. Kita bersombong diri, lupa terhadap kerapuhan diri kita saat dirundung kesusahan dan butuh pertolongan.
Pribadi kita yang cenderung malas untuk mendekatkan diri pada Allah, yang selalu mendahulukan nafsu dan tidak takut pada Allah adalah tanda adanya suatu penyakit hati yang wajib kita sembuhkan dan hilangkan bekas-bekasnya dari dada kita. Kita harus mengganti perbuatan-perbuatan kita sekarang dengan perbuatan yang lebih pantas kita lakukan sebagai hamba Allah. Janganlah kita mengulur waktu dalam hal yang satu ini. Selagi ruh kita belum dicabut dari jasad kita, sebelum kita disergap oleh kepastian yang tak dapat ditawar, yang tidak dapat dihalangi dan ditunda yaitu kematian.
Allah berfirman yang artinya: “......Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya”. (Al-A’raf: 24)
Janganlah bangga dengan apa yang kita miliki sekarang karena bila sudah menghadapi yang namanya kematian, tidak ada satupun hal yang mampu mengekalkan kita. Kematian menganggap remeh dinding penghalang yang kita bangun, tersenyum sinis terhadap tembok-tembok yang kita pikir mampu memberi tambahan umur bagi kita dan kematian menertawakan benteng-benteng kokoh yang kita dirikan.“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh......”. (An Nisa: 78)
Masih sangat kurang rasa syukur kita atas dimuliakannya dahi-dahi yang dapat kita gunakan bersujud kepada Allah, dan atas nafas-nafas yang masih dapat kita hembuskan untuk ingat pada Allah, juga atas kehormatan tangan-tangan kita yang masih bisa ditengadahkan untuk memohon pada Allah, serta tak lupa pula atas ketenangan dan kebahagiaan jiwa yang diselimutkan pada hati kita. Syukurilah hal itu semua! Karena mungkin di waktu-waktu yang akan datang kita sudah tidak mungkin mensyukurinya lagi.
(Santri PIQ)