BIOLUMINESENSI
“Cepat pergi dasar manusia tak berguna kehadiranmu membuat rumahku kumuh, cepat pergi !”
Kakiku terasa berat untuk melangkah meninggalkan halaman rumah ini.
padahal setiap kali aku menengadahkan tangan, pasti ada sesuatu yang mendarat di tanganku, entah itu uang ataupun makanan.
Mungkin selama ini yang memberiku adalah pembantu rumah ini. Tapi biarlah mungkin hari ini bukan rezekiku.
Hari mulai gelap pendapatanku masih belum cukup untuk membeli nasi satu bungkus, bagaimana lagi, perut ini berguncang hebat, sebagai penenang aku membeli gorengan,lumayan bisa untuk mengganjal perut untuk hari ini.
Hidup sendiri memang sangat susah, entah aku dari nashab mana. Aku melarikan diri dari sebuah panti asuhan.
Aku ingin bisa hidup sendiri walaupun susah, biarlah ini memang resiko yang harus aku tanggung, justru dengan inilah mungkin aku bisa punya pengalaman yang lebih banyak.
“Nak, sini aku punya sesuatu untukmu” aku dipanggil oleh seorang penjual nasi goreng di pinggur jalan. ”Ini bawa pulang dan nikmatilah” sebuah tas plastik warna hitam berisi satu bungkus nasi goreng.
Dadaku berdebar hebat aku sudah tak sabar lagi utuk membukanya
“Terima kasih pak”
“Tidak apa apa kok, ngomong-ngomong kamu dari mana kok malam hari masih berkeliaran di luar?”
“Mmm...itu, saya hanya seorang pengemis pak”
“Ooo...” Ia manggut manggut. “Terus malam ini kamu tidur di mana?”
Aku hanya menggelengkan kepala, sungguh aku malu sekali aku mengatakan hal itu. selama ini aku hanya tidur beralaskan bumi dan beratapkan langit.
Hawa dingin sudah biasa berkali-kali menusuk tubuh kecilku dan kerikil kerikil kecil menjadi teman tidurku, walaupun aku selalu memimpikan bisa tidur di atas spring bed seperti orang kaya, tapi hal itu tak pernah menjadi nyata.
“Aku tunggu kedatangamu di pinggir pantai jam sepuluh malam, aku tunggu kedatanganmu”
“Insya Allah”
Penjual nasi goreng tersebut meninggalkanku sendirian. Rasa lapar dan lelah bercampur jadi satu. Dalam beberapa menit saja nasi goreng telah menyatu dengan cairan lambungku. Kenyang...
“Kemarilah”
Aku mendekatinya, di bawah sinar bulan purnama, kami berdua memandangi laut, begitu dingin namun dengan adanya api unggun di hadapan kami, suasana berubah 180 derajat dari dingin menjadi hangat.
“Dulu aku sama sepertimu”
Aku terperangah kaget
“Sengsara, sebagai seorang pengemis dituntut untuk mempunyai kesabaran yang tinggi.
Setiap orang merasa terganngu dengan kehadirannya, tetapi sebagai seorang pengemis aku tidak pernah menyerah.
Semenjak aku sering main di tempat ini, aku berdiam diri dan memikirkan apa yang harus aku lakukan agar bisa terbebas dari belenggu kemiskinan.
Aku tak sendiri di sini, angin malam yang selalu setia berhembus dan deburan ombak selalu tersenyum kepadaku.
Setelah lama berpikir akhirnya aku temukan jawabannya.
Asal kau tahu saja, cahaya lautlah yang membuat aku tidak putus asa.
Mungkin aku akan memperlihatkan bagaimana bentuk cahaya laut, aku berharap kau dapat menemukan sendiri jawaban segala permasalahanmu dengan memandangnya, tinggal beberapa jam lagi cahaya akan keluar dari dasar laut”
Tangannya mengacak acak rambutku, senyum kecil menyeringai jelas di wajahnya dan aku hanya bisa bertanya, apakah benar kalau laut bisa bersinar.
Aku terus memendam rasa penasaranku untuk beberapa menit saja.
Benar saja, perlahan lahan laut bersinar, sungguh cantik pemandangannya, tak terasa rasa gundah yang ada di hati hilang begitu saja bersama pendar pendar kecil butiran air laut.
ARI (PIQ) 05/2009