Setiap detik, setiap menit, setiap jam dan setiap hari, aku dilewati, dan yang lebih ekstrim lagi, aku diinjak-injak oleh semua penghuni Ribath. Badanku terkena hujan, panas, bahkan dinginnya angin malam juga menimpa tubuhku yang rentan ini. Aku tetap setia menunggu kaki-kaki yang akan lewat. Apakah mereka tidak mau balas budi kepadaku?
Jum’at sore, aku berdo’a kepada Allah swt :
“Ya Allah, aku mohon hidupkanlah tubuhku yang menderita ini, supaya aku bisa membalas mereka yang menganiayaku”.
Alhamdulillah,rupanya do’aku dikabulkan Allah. Karena tiba-tiba ada dua santri yang melewati tubuhku. Mereka adalah Sonhaji dan Ba’abud, sambil melintasi tubuh ku, mereka berkata :
“Hai Son, ayo kita bermain tennis meja!” kata Ba’abud
“Ya, ayo” jawab Sonhaji.
“Ngomong-ngomong, ada pelajaran apa setelah maghrib Son?
“Setelah maghrib adalah pelajaran Ammy Luthfi.”
Tatkala mereka berdialog sambil melewati tubuhku, secepat kilat aku menjatuhkan mereka berdua, sehingga kepala mereka terbentur lantai seraya berteriak,
“Aaaaaaaaaaarrrggghhhh…….”
Aku langsung terbangun dari tidurku dan aku segera menyebut asma Allah. Ternyata itu hanya mimpi belaka. Tetapi tetap saja aku hanyalah sebuah tangga yang tidak bisa hidup.
Aku bersyukur kepada Allah yang telah menciptakanku. Karena masih banyak tangga-tangga lain yang lebih menderita. Aku harus bersabar dan bertawakkal karena telah tercipta di dunia ini.
Medio Pebruari, 2009, Ribath Almurtadla.
(pejuangislam)