| Luthfi Bashori lahir di kota santri, Singosari, pada tanggal 5 Juli 1965, dari orang tua KH. M. Bashori Alwi dan Hj. Qomariyah binti Abdul Hamid. Layaknya anak-anak Singosari kala itu, Luthfi kecil menempuh pendidikan formalnya pada jenjang dasar di Madrasah Ibtidaiyyah Al Ma`arif Singosari.
Setelah lulus dari Madrasah Ibtidaiyyah pada tahun 1979, Luthfi kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri Singosari hingga tahun 1982. Dan rupanya ini merupakan akhir jenjang studi formalnya. Karena pada tahun yang sama, putra ke-9 dari 11 bersaudara ini memutuskan untuk masuk ke pesantren Darut Tauhid asuhan Ust. Abdullah Awadl Abdun. |
Selama kurang lebih setahun Luthfi menimba ilmu agama di pesantren yang terletak di kawasan Sumbersari Malang tersebut, terutama ilmu Bahasa Arab. Rupanya, proses ini merupakan pembekalan bagi sosok Luthfi Bashori yang mendapatkan kesempatan berharga untuk menempuh pendidikan di Timur Tengah (Madinah dan Makkah). Selama 8 tahun, tepatnya sejak tahun 1983 hingga 1986 beliau menetap di Madinah, lantas tahun 1987 hingga 1991 pindah ke Makkah, di bawah bimbingan seorang ulama kharismatik, As Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki Al Hasani (alm).
Tatkala Luthfi belajar di sana, beliau mengaku sangat senang sekali saat diperintah untuk berkhidmad pada guru utamanya, as Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki. Karena beliau meyakini bahwa turunnya barokah sering kali melalui khidmad kepada guru, dan kenyataan ini sudah dirasakan sendiri oleh Luthfi. Dalam mengaplikasikan keyakinannya beliau sangat antusias tatkala guru besar beliau memintanya untuk berkhidmad, bahkan mayoritas kehidupan Luthfi di Makkah dijalaninya dengan berkhidmad secara ikhlas. Beliau sering menukil kata mutiara Arab, "qaddimil khidmad `ala at ta`allum" (dahulukan berkhidmad dari belajar), tentunya di saat waktunya bersamaan. Arti ikhlas saat berkhidmad, menurut beliau haruslah disertai dengan tingginya i`tqad (keyakinan) dan selalu menjaga husnudhan (prasangka baik) kapada guru. Luthfi juga senantiasa berusaha untuk `dekat` secara dhahir dan bathin, bahkan menempatkan diri di depan gurunya layaknya seorang anak terhadap orang tuanya.
Selama 8 tahun itulah Luthfi dan beberapa temannya, mendapat tugas dari gurunya untuk membuatkan sekaligus menghidangkan minuman syai akhdhar (teh hijau) dan qahwa arabi (kopi arab) khas Arab Saudi kepada para tamu yang berziarah maupun yang menghadiri majlis ta`lim gurunya. "Jumlah tamu yang datang tiap hari, terkadang puluhan, bahkan tak jarang ratusan orang", ujar Luthfi menerangkan. Sekalipun rasa capai sering dialami, karena saat menyuguhkan minuman, posisi badan Luthfi harus berdiri dan membungkuk. Ini disebabkan format para tamu yang menghadiri majlis ta`lim adalah duduk di atas lantai berkarpet. Sekalipun demikian Luthfi tetap bersemangat dan beristiqamah menjalani apa yang ditugaskan oleh gurunya. Belum lagi ucapan para tamu yang mendapat suguhan dari tangannya: "Jazaakallahu khairan" (semoga Allah memberimu balasan baik), diyakini oleh Luthfi sebagai doa yang maqbul (dikabulkan).
Tatkala beliau diperintahkan untuk pindah ke Makkah, yaitu tahun 1987, tugas Luthfipun bertambah pula, yaitu sebagai salah satu katib (penulis) yang membukukan surat menyurat, catatan harian, serta pemikiran guru besarnya ke dalam buku tulis berukuran tebal, dengan tulisan khat yang baik dan jelas. Sudah tak terhitung berapa banyak buku tulis yang berisikan goresan tangan Luthfi yang kini tersimpan rapi di perpustakaan khusus as Sayyid Muhammad Alwi al Maliki al Hasani. Tentunya hal ini menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi Luthfi, terlebih sepeniggalan guru besar beliau tersebut. Dengan wafatnya as Sayyid Muhammad Alwi al Maliki al Hasani, Luthfi merasakan duka dan kesedihan yang tiada tara. Namun beliau juga telah merasakan barokah guru besarnya yang begitu banyak mempengaruhi pembentukan karakter kehidupannya. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Luthfi.
Garis Keturunan
Pada saat berangkat mencari ilmu di Makkah, umur Luthfi masih sangat muda belia, yaitu 18 tahun. Sebagaimana pada umumnya, anak pada usia tersebut kurang memperdulikan garis keturunan datuk-datuknya. Hingga kemudian, tatkala menjelang pulang ke tanah air, as Sayyid Muhammad Alwi al Maliki berpesan kepada Luthfi agar mencari tahu dan menelusuri garis nasabnya. Setiba di tanah air, beliau lalu menanyakannya pada sang ayah, namun kurang mendapatkan jawaban yang jelas. Pesan guru besar beliau tersebut selalu terngiang di telinga. Hingga pada akhirnya Luthfi mencari tahu dari bibi-bibinya dari pihak ayah. Dari merekalah Luthfi mengetahui bahwa keluarga ayahnya adalah keturunan Adipati Omben Madura. Dengan bekal informasi tersebut Luthfi pergi ke Pulau Madura untuk menelusuri lebih lanjut tentang datuknya.
Di sana, beliau mendapat banyak informasi diantaranya dari KH. Khalil Thayyib dan Ustadz Jazuli yang termasuk tokoh di kawasan Omben, bahwa Adipati Omben itu bernama Syarif Husain yang terkenal juga dengan julukan Bujuk Rokem.yang mana makam beliau berada di atas gunung Eliyan Omben Sampang Madura.
Adapun Bujuk Rokem mempunyai ayah yang bernama Maulana Ibrahaim yang terkenal dengan julukan Sunan Dalem, beliau adalah putra Sunan Giri, salah seorang dari Walisgongo penyebar agama Islam di Indonesia. Sedangkan kedua makam beliau berada di gunung Giri Gresik Jawa Timur.
Bujuk Rokem ini mempunyai putra yang bernama Datuk Hasan yang terkenal dengan julukan Bujuk Raddin, menurut versi keluarga dari keturunan Syarif Husain. Makam beliau berada di Batu Nahong Bangkalan. Sedangkan Datuk Hasan mempunyai putra yang bernama Datuk Yusuf Qadir yang dimakamkan di wilayah Bargan Jrengik, yang tidak jauh dari kota Sampang. Datuk Yusuf Qadir mempunyai putra yang bernama Alwi yang terkenal dengan panggilan Agus Matal, makam beliau berada di atas gunung di daerah Sumber Glemuk Angsokah Sampang.
Datuk Alwi mempunyai putra yang bernama Abdurrahim, beliaua inilah datuknya Luthfi yang hijrah dari pulau Madura ke pulau Jawa.
Datuk keempat Luthfi, yaitu Datuk Abdurrahim, beliau hidup pada masa colonial, beliau adalah seorang pejuang yang dikejar-kejar oleh Belanda, yang pada akhirnya melarikan diri dari Madura dan mengungsi serta menetap dan dimakamkan di Singosari. Malang. Beliau mempunyai putra yang bernama Buyut Murtadla yang dikenal sebagai seorang ahli Alquran yang cukup disegani di wilayah Singosari, makam beliau jaga beradaa di Singosari. Adapun Buyut Murtadla mempunyai putra yang bernama Mbah/Yai Alwi, beliau dikenal sebagai aktivis NU pada masanya. Beliau menjadi wakil NU di keanggotaan DPR kala itu, atau yang sering disebut senagai anggota konstituante. Sedangkan makam beliau berada di tanah makam keluarga di pemakaman Kadipaten Singosari. Beliau mempunyai putra yang bernama KH. Bashori, yang terkenal sebagai ahli Alquran pendiri Jam`iyyatul Qurra wal Huffadz, cikal bakal MTQ Nasional, sekaligus pendiri Pesantren Ilmu Alquran (PIQ) Singosari. Sedang KH. Bashori inilah ayah kandung Luthfi.
Untuk menghormati datuk-datuknya sekaligus mengeskpresikan wasiat dari guru besarnya, Luthfi secara berkesinambungan menziarahi makam Syarif Husain di kawasan Omben Madura serta merawat dan membaca doa untuk para datuknya di pemakaman keluarga yang berada di Singosari. Dilahirkan dari keturunan pejuang-pejuang Islam serta masa kecil yang dihabiskannya di lingkungan pesantren yang diasuh ayahandanya, rupanya berpengaruh besar dalam cara hidup dan gaya pikir Luthfi. Sejak awal beliau sudah menentukan disiplin ilmu apa yang harus digeluti dan bagaimana beliau akan mengisi hidupnya, yakni mendalami ilmu agama dan mengajarkannya pada orang lain. Dunia pendidikan dan dakwah Islamiyah dengan memegang tradisi salaf merupakan way of live ustadz muda yang saat ini dikaruniai 2 anak putri, dan tengah menanti kelahiran anak ketiganya.
Aktifis Dakwah
Orang yang mendengarkan ceramah-ceramah Ust. Luthfi baik yang disampaikan lewat mimbar Jumat, majlis ta`lim atau tabligh akbar, akan menangkap kesan keteguhan dalam memegang prinsip yang diyakininya, serta keberaniannya dalam menentang kemungkaran yang terjadi di tengah masyarakat, baik pada level pemerintahan maupun masyarakat secara umum. Di saat menyampaikan materi pembahasan, Ust. Luthfi selalu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi para pendengarnya. Adakalanya dengan aksen yang keras, tegas, dan lugas, namun di saat lain beliau menyampaikan dengan cara yang sejuk, lembut, dan komunikatif, sekalipun demikian kesan tegas tidak pernah hilang dari dirinya. Demikian juga tatkala beliau mengulas makalahnya yang disajikan dalam seminar-seminar, termasuk di saat menjawab pertanyaan-pertanyaan, gaya penyampaiannya dikenal sangat mudah dimengerti dan mampu memuaskan audien. Sejak pulang dari Makkah Al Mukarramah tahun 1991 hingga sekarang, Ust. Luthfi tetap istiqamah dalam menempuh cara ini.
Beliau juga selalu berada di garis depan menentang penyebaran aliran-aliran dan ajaran-ajaran sesat semacam Syi`ah, Islam Liberal, sinkretisme (pencampuradukan agama), manunggaling kawulo gusti (penyatuan diri dengan Tuhan), ruwatan (sedekah) bumi, fenomena do`a bersama muslim non muslim, dan sebagainya yang tidak sesuai dengan ajaran syariat, sekalipun dalam melakoninya Ust. Luthfi harus berhadapan dengan tokoh sekelas Gus Dur dan Megawati.
Tatkala Gus Dur mengatakan : "NU adalah Syiah kultural, buktinya warga NU senang membaca shalawat Daiba`." Dengan tegas Ust. Luthfi mengomentari: "Pendapat itu adalah kebohongan publik dan pembodohan terhadap ummat yang dilakukan oleh Gus Dur, sebab as Syeikh Abdurrahman bin Ali bin Muhammad as Syaibani al Yamani az Zabidi as Syafi`i, pengarang kitab al Maulid ad Daiba`i, tiada lain adalah ulama bermadzhab Sunni-Syafi`i, sebagaimana termaktub dalam biografinya".
Menurut Ust. Luthfi, di dalam muqaddimah qanun asasi Jamiyyah Nahdlatul Ulama, Hadlratus Syeikh KH. Hasyim Asy`ari, melarang warga NU terpengaruh dan ikut aliran sesat, termasuk Syiah Zaidiyah. Perlu diketahui bahwa Syiah Zaidiyah menurut para ulama, kesalahannya tidaklah terlalu besar, kelompok ini hanya mengatakan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra, lebih Afdal dari pada Sayyidina Abu Bakar ra dan Umar bin Khatthab ra. Itupun sudah diantisipasi oleh Hadlratus Syeikh. Apalagi Syiah Imamiyah yang kini berkembang di Indonesia, dengan tokoh idolanya Khomaeni, yang mana kelompok ini telah mengkafirkan Sayyidina Abu Bakar ra dan Umar bin Khatthab ra, bahkan mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang tertera di dalam buku-buku rujukan utama mereka. Tentunya apa yang disampaikan Gus Dur, sangat bertentangan dengan wasiat pendiri NU tersebut, demikianlah sebagaimana yang ditandaskan oleh Ust Luthfi.
Al Habib Abdurrahman bin Husain As Segaf, pengasuh Pesantren Ihyaus Sunnah Pasuruan, merangkap sebagai ketua FPI Jawa Timur pernah mengatakan: "Sekarang ini jarang sekali orang NU yang benar-benar NU tulen, seperti zamannya KH. Hasyim Asy`ari, Laah… diantara orang-orang NU yang jarang sekali ditemukan itu, adalah Ust. Luthfi. Maka sangat keliru kalau ada orang mengatakan bahwa Ust. Luthfi telah keluar dari NU,..justru Ust. Luthfilah yang berjuang memurnikan NU, agar menjadi NU asli seperti saat didirikan dahulu."
Bersama Habib Thohir bin Abdullah Al Kaaf (muballigh asal Tegal); Drs. Habib Muhammad bin Hasan Baharun (muballigh dan penulis asal Malang); Habib Ahmad bin Zain Al Kaaf (Yayasan al Bayyinat berpusat di Surabaya); KH. Dawam Anwar (pengurus PBNU); KH. Irfan Zidni (ketua lajnah falakiyah dan dewan syura PBNU); Ust. H.M Amin Djamaluddin (pimpinan Lembaga Penelitian Dan Pengkajian Islam, Jakarta); dan beberapa ulama terkemuka, Ust. Luthfi sangat getol memerangi dan mengantisipasi penyebaran aliran Syiah Imamiyah di kalangan ummat Islam, baik lewat pengajian umum, tabligh akbar, seminar, tulisan, hingga permohonan resmi pelarangan penyebaran Syiah lewat jalur pemerintah. Di akhir era pemerintahan Presiden Suharto, pemerintah sempat menyatakan secara resmi Syi`ah adalah aliran sesat yang perlu diwaspadai, tiada lain berkat keuletan para ulama yang berjuang bersama beliau.
Bersama Ust. Abu Bakar Ba`asyir (Amir Majlis Mujahidin Indonesia), Ustadz Luthfi dikenal gigih dan cukup lugas di dalam menyampaikan dan memperjuangkan gagasan formalisasi syariat Islam dalam tatanan Undang-Undang Negara.
Bersama KH. Athian Ali (ketua FUUI berpusat di Bandung), beliau pernah mengeluarkan fatwa mati bagi Ulil Absar Abdalla yang divonis telah menghina Islam. Dalam acara ulang tahun MMI di Yogjakarta di hadapan ribuan simpatisan, dan juga dihadiri wartawan-wartawan asing non muslim yang meliput acara tersebut, Ust. Luthfi melontarkan salam khusus pada para peliput dari kalangan non muslim, "as saam `alaikum!" (racun atas kalian!). Tindakan ini diambil sebagai reaksi atas tekanan dan kedzaliman Amerika dan musuh-musuh Islam terhadap kaum muslimin khususnya MMI.
Pada saat FPI memperingati hari jadinya di Jakarta, karya tulis beliau yang diberi judul "11 September Hari Anti Amerika Sedunia" ikut mewarnai acara tersebut, bahkan dicetak ribuan lembar dan disebarkan di kalangan yang hadir. Dalam acara Silaturrahim Nasional Ulama dan Habaib yang digelar di Jakarta dan dirilis oleh hampir seluruh stasiun telivisi secara langsung, sosok Ust. Luthfi tampak duduk di deretan meja nara sumber dan ikut aktif menolak calon presiden wanita serta calon presiden yang diindikasikan menjadi boneka Amerika.
Bersama MUI Kabupaten Malang, beliau ikut bertanggung jawab atas keluarnya fatwa mengenai kesesatan ajaran shalat dua bahasa ala Yusman Roy.
Dalam ceramahnya, beliau sering mengelompokkan komunitas muslim menjadi dua bagian; muslim konsisten dan inkonsisten. Muslim `konsisten`, menurutnya, adalah kalangan Islam yang selalu bersemangat memperjuangkan dan memurnikan ajaran Islam yang berafiliasi pada ajaran ulama salaf ahlussunnah wal jama`ah dan tidak keluar dari jalur syariat. Sedang muslim `inkonsisten` adalah sebaliknya, seperti kaum Syi`ah, kelompok liberal, pelaku dan pendukung sinkretisme (pencampuradukan agama-agama, seperti mengadakan acara keagamaan bersama muslim-non muslim), sekularisme, komunisme (yang kini ajarannya marak digandrungi oleh kalangan mahasiswa perguruan-perguruan tinggi berlabel Islam), westernisasi, dan upaya pendangkalan agama serta pemurtadan umat.
Dalam dunia dakwah, Ustadz yang tergolong masih muda, menginjak usia 40 tahun ini, ternyata telah melanglang buana ke pelbagai kota di Indonesia. Adapun kawasan yang pernah dimasuki Ust. Luthfi adalah hampir seluruh kota di Jawa Timur, seperti Banyuwangi, Bondowoso, Jember, Probolinggo, Pasuruan, Malang, Surabaya, Tuban, Kediri, Jombang, dan lain-lain. Di Jawa Tengah, seperti Yogyakarta, Solo, Purwokerto, Purworejo, Kendal, Rembang, Semarang, Pekalongan, Tegal, Brebes, dan lain-lain. Di Jawa Barat, seperti Bandung, Garut, Cirebon, dan lain-lain, termasuk juga di ibu kota Jakarta. Di pulau Sumatra, seperti Lubuk Linggau. Di pulau Sulawesi seperti Ujung Pandang. Di pulau Kalimantan seperti Balik Papan. Di pulau Madura, pulau Sapeken, pulau Bali, pulau Lombok, dan lain sebagainya.
Aktifis Organisasi
Dunia pendidikan dan dakwah yang selama ini digeluti, seakan kurang sempurna apabila tidak dikembangkan di tengah masyarakat luas. Sehingga beliau melebarkan sayap dakwahnya di tengah masyarakat dengan aktif di berbagai organisasi dan pergerakan Islam, diantaranya sebagi ketua FORMAIS (Forum Masyarakat Islam Singosari), anggota FUUI (Forum Ulama Umat Indonesia) Bandung Jabar, penasehat MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) Pusat satu priode (selesai), komisi fatwa MUI kabupaten Malang tiga priode, penasehat FPI (Front Pembela Islam) Jatim satu priode (selesai), nara sumber FPIS (Front Pemuda Islam Surakarta), penasehat FSPS (Forum Silaturahim Peduli Syariat) se Malang Raya, penasehat FKRM (Forum Komunikasi Remaja Masjid) kabupaten Malang, penasehat Tim Fakta dan ARIMATEA cabang Malang (dua organisasi yang berkecimpung dalam membentengi umat Islam dari maraknya kristenisasi), Ketua LPAI (Lembaga Penegakan Aqidah Islam), lembaga yang membentengi aqidah umat melalui karya tulis, dan Pengurus Syuriah MWC.NU Singosari Malang (dua priode / 2013 - 2023).
Karena aktif berdakwah di Jakarta, beliau sering dilibatkan dalam kegiatan ulama se-Jabotabek, termasuk menyampaikan amanat ummat kepada Prof. DR. BJ. Habibi, tatkala menjabat sebagai presiden RI. Demikian pula di pulau Madura, beliau seringkali menghadiri rapat-rapat yang diadakan oleh para ulamanya guna membahas permasalahan sosial masyarakat Madura, termasuk berdialog dengan Prof. DR. Amien Rais, tatkala menjabat sebagai ketua MPR. Beliau juga aktif mengisi kajian-kajian yang diselenggarakan di masjid-masjid kampus di Malang, Surabaya, dan Yogyakarta. Begitu pula kajian dan seminar yang diselenggarakan oleh kalangan pesantren, Remas, Hizbut Tahrir, KAMMI, PKS, dan pergerakan Islam lainnya.
Dengan seabrek organisasi yang diterjuninya, seakan membuat perhatian dan kepeduliannya terhadap masalah sosial keagamaan sangatlah besar, tidak hanya pada skup lokal saja, tetapi juga pada tataran umat Islam secara luas. Apalagi saat ini beliau ditunjuk sebagai salah satu pengurus harian Hai`ah as Shofwah, sebuah organisasi yang menaungi seluruh alumni ma`had as Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani, yang rata-rata anggotanya adalah para ulama dan habaib pemangku pesantren dan majlis ta`lim dari pelbagai belahan Indonesia.
Ust. Ali Rahbini (Gondang legi Malang), sebagai sekretaris As Shafwaf sangatlah merasakan besarnya manfaat keberadaan Ust. Luthfi pada jajaran fungsionaris Hai`ah as Shofwah, Ust Ali mengatakan: " Hai`ah as Shofwah, adalah sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang Tarbiyah dan Dakwah, maka sosok Ust. Luthfi yang dikenal `komplit` dan ulet, sangatlah cocok duduk dalam kepengurusan harian. Belum lagi kepedulian dan kegetolannya di dalam membentengi ummat Islam dari aliran-aliran dan prilaku bid`ah dhalalah (sesat) yang keluar dari aqidah Ahlus sunnah, hal ini sesuai dengan visi dan misi Hai`ah as Shofwah."
Dengan keaktifan beliau di berbagai kalangan, dengan tidak membeda-bedakan kultur dan latar belakang organisasi, menjadikan pemikiran beliau diterima oleh banyak pihak, baik dunia pesantren, pergerakan Islam, kampus, dan masyarakat pada umumnya. Secara konkrit, perjuangan beliau sering diwujudkan dengan menggandeng aparat terkait dalam memberantas kemaksiatan, budaya non muslim, dan kristenisasi. Seruan tegas lewat mimbar Jumat dan karya tulis kerap kali disampaikan Ust. Luthfi dalam menyikapi penindasan dan perampasan hak-hak umat Islam di seluruh dunia, seperti di Irak, Palestina, Afghanistan dan di berbagai belahan dunia lainnya.
Beliau juga tak segan untuk mengirim para muridnya terutama yang berdomisili di pesantren Ribath untuk ikut membantu perjuangan beliau, dengan cara bernegoisasi dengan pihak aparat, serta terjun ke desa-desa dalam berdakwah dan menyebarkan stiker-stiker anti kemaksiatan.
Karya Tulis
Ustadz Luthfi juga begitu aktif menulis kajian-kajian Islam. Talenta menulis beliau ini berangkali merupkan `warisan` dari sang ayah, KH. Bashori Alwi, yang juga dikenal sebagai penulis dan penerjemah kitab. Sejak kecil, Ust. Luthfi sudah aktif menulis karya-karya semacam puisi, cerpen dan essay. Beberapa karyanya di usia kanak-kanak pernah dimuat di Majalah Anak-anak Kawanku. Dan saat ini, sesuai dengan kapasitas ilmu dan dunia yang beliau geluti, beliau sudah berhasil melahirkan karya-karya tulis baik yang berbentuk artikel, makalah dan buku. Materi kajian yang sering beliau angkat adalah tentang kritik sosial keagamaan.
Beberapa artikel beliau dimuat di media massa dan beberapa bukunya sudah diterbitkan. Di antaranya yang sangat fenomenal adalah buku Al Quran Versi Syiah Tidak Sama dengan Al Quran Kaum Muslimin yang dicetak sebanyak 150.000 eksemplar oleh berbagai simpatisan dan disebarkan secara cuma-cuma. Juga buku Musuh Besar Umat Islam yang sudah diterbitkan tiga kali oleh percetakan Wihdah Press Yogyakarta sebanyak 15.000 eksemplar. Buku yang terakhir ini, disamping diberi kata pengantar oleh DR. Fuad Amsyari (tokoh Muhammadiyah), sudah sering kali dibedah oleh aktifis pergerakan Islam di berbagai tempat, di antaranya di Universitas Brawijaya Malang, masjid Jami` Pandaan, pesanten al Anwar Sarang Rembang, PMII cabang Purworejo Jateng dan di kota-kota besar lainnya seperti Solo, Yogyakarta, Madura dan lain sebagainya. Buku lain yang telah ditulis antara lain, Di Balik Upaya Pembubaran Depag, NU dan Sekularisme, Presiden Wanita dalam Wacana Hukum Islam, dan sebagainya. Satu judul materi yang ditulis Ustadz Luthfi pernah dimuat dalam buku Musykilat NU, yaitu buku karya bersama KH. Yusuf Hasyim; KH. Irfan Zidni; Ir. Shalahuddin Wahid; H. Said Budairi; Gus Isham Hadziq; Ust. Luthfi Bashori. Buku tersebut diterbitkan mencapai ribuan ekslemplar, disaat menjelang diresmikannya undang-undang multi partai di Indonesia.
(pejuangislam).