PARA ULAMA ADA TIGA MACAM
Dewasa ini, julukan atau gelar ulama menjadi istilah yang fenomenal di tengah masyarakat, hingga tidak jarang di kalangan sebagian orang, ada yang menjadikan gelar ulama itu sebagai salah satu target dari tujuan hidup.
Sebenarnya cita-citanya itu mulia, namun sayang seribu kali sayang, seringkali orang-orang yang semacam itu tidak berusaha menjadi ulama yang benar-benar ulama sesuai dengan aturan syariat, hingga bukan sekedar ingin dipanggil dengan panggilan atau gelar yang berkonotasi sebagai seorang ulama.
Pemahaman secara umum, salah satu aturan seseorang itu dapat disebut sebagai ulama, jika ia menguasai ilmu agama, atau ajaran syariat Islam secara benar dan mendalam, contohnya ia dapat menguasai isi kandungan Alquran, Hadits, Ijma maupun Qiyas.
Sekalipun aturan tersebut mempunyai jenjang-jenjang tertentu, yang mana kemampuan setiap figur dari para ulama itu berbeda dengan kemampuan ulama yang lainnya.
Ada lagi syarat manawi seseorang itu dapat disebut sebagai seorang ulama, yaitu jika disertai memiliki rasa takut kepada Allah, minimal secara dhahir.
Jika ada orang yang secara dhahir saja berani menentang aturan Allah maupun Rasulullah SAW, sekalipun orang tersebut menampakkan kepahamannya terhadap ilmu syariat Islam, maka hakikatnya ia bukanlah seorang ulama.
Di sisi lain, ada seorang ahli tahqiq berkata, bahwa ulama ada tiga macam, yakni:
1. Seorang ulama yang mengenal tentang Allah, tetapi kurang mengenal hukum-hukum Allah.
2. Seorang ulama yang mengenal hukum-hukum Allah tetapi ia kurang mengenal tentang Allah.
3. Seorang ulama yang mengenal hukum-hukum Allah, sekaligus mengenal pula tentang Allah.
Pertama, seorang yang mengenal Allah di dalam hatinya, sehingga ia sibuk dengan Allah dan ia kurang menyempatkan diri menekuni ilmu syariat.
Kedua, seorang ulama yang mendalami hukum syariat tentang masalah-masalah halal dan haram dan sejumlah hukum syariat lainnya, tetapi ia kurang mengerti tentang rahasia-rahasia Allah.
Ketiga, seorang ulama yang sempurna, karena ia mengenal Dzat Allah dan rahasia-rahasia Allah yang tidak dapat dipahami secara kasat mata, sekaligus mendalami hukum-hukum syariat Allah. Ulama yang memiliki sifat inilah hakikatnya yang dapat mengetahui permasalahan keummatan yang kasat mata, lantas ia mampu memberikan solusi berdsasarkan syariat kepada umat Islam, dengan penuh perhatian dan kasih sayang.
Di saat yang lain, ia merasa lebih nyaman, tentram dan damai saat sedang berkhalwat mendekatkan diri kepada Allah, sekalipun disertai rasa takut sekira amal ibadahnya tidak diterima, hingga ia senantiasa memohon ampunan kepada Allah tanpa henti-hentinya.
Jika ia sedang bersama dengan Tuhannya, maka ia sibuk dengan dzikir dan ibadahnya, seolah-olah ia tidak mengenal manusia, sebaliknya jika ia kembali dari Tuhannya dan bergaul dengan manusia maka ia bagaikan manusia lainnya yang tak pernah mengenal Tuhannya. Sikap seperti ini adalah sikap para rasul dan para siddiq.
Nabi SAW bersabda: Hendaknya kalian suka bertanya kepada para ulama, bergaul baik dengan para hukama dan senang duduk dengan orang-orang besar (yang shalih). (HR. Ad-Darimi).