PLUS – MINUS FATWA AGAMA
YANG BEREDAR DI TENGAH MASYARAKAT
Luthfi Bashori
Jaman sekarang ini, musimnya peredaran fatwa keagamaan di media sosial, yang sering kali fatwa-fatwa itu tidak ada rujukannya yang jelas, bahkan banyak di antara fatwa yang beredar itu tanpa ada nama penulis sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap isi fatwa tersebut.
Padahal tanggung jawab terhadap fatwa terkait ilmu agama yang disebarkan itu adalah suatu kewajiban yang akan dipertanggungjawabkannya baik secara ilmiah apalagi kelak di hadapan Allah SWT.
Hakikat ilmu agama itu memang sangat bermanfaat bagi siapapun yang memilikinya, namun para pendistribusi ilmu agama itu hendaklah pandai juga mengukur kemampuan dirinya, apakah ia sudah layak untuk menyampaikan ilmu yang diketahuinya kepada khalayak atau belum?
Jika sudah layak, maka ilmu tersebut akan dapat memakmurkan kehidupan masyarakat sekitarnya.
Termasuk juga, apakah ilmu yang dimilikinya itu bersumber dari rujukan yang valid sesuai standar yang ditentukan oleh para ulama salaf atau tidak?
Jika sudah valid, maka ilmu yang disebarkannya itu akan dapat dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat.
Atau apakah tidak seharusnya ia menjadikan ilmu yang dipahaminya itu hanyalah untuk memperbaiki diri sendiri?
Misalnya karena keterbatasan pemahamannya yang dimilikinya jika akan ikut menyebarkannya, hingga dirinya khawatir tidak dapat bertanggungjawab atas kebenaran apa yang ia sampaikan.
Sahabat Abi Musa berkata bahwa Nabi SAW bersabda, “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku untuk menyiarkannya, adalah seperti hujan yang banyak dan turun ke bumi. Ada bumi yang subur menerima air dan menumbuhkan tanaman serta rumput yang banyak. (ini perumpamaan orang alim yang memberi manfaat ilmu kepada masyarakat secara luas)
Ada pula bumi yang tandus menahan air. Maka Allah memberi manfaat dengannya kepada manusia hingga mereka minum darinya dan menyiram serta menanam. (ini perumpaan orang alim yang memberi manfaat ilmu kepada jamaahnya)
Hujan itu juga turun di bagian bumi yang lain. Bumi itu merupakan tanah datar yang tidak menahan air dan tidak menumbuhkan tanaman. Itu adalah perumpamaan orang yang memahami tentang ilmu agama dan bermanfaat bagi dirinya dari ilmu yang aku diutus Allah untuk menyebarkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dalam Shahihain dari hadits Sy. Abdullah bin Ummar RA bahwa ia berkata, “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara langsung dari manusia. Akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan mematikan para ulama. Ketika tidak tersisa seorang alim pun, maka masyarakat akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh (awwam agama). Kemudian mereka ditanya, lalu memberi fatwa tanpa ilmu (yang memadai) sehingga mereka tersesat dan menyesatkan.
Disebutkan dalam Mukhtashar Syu’abil Iman mengomentari hadits ini, yakni para ulama wafat dan terbukalah ruang yang luas bagi orang-orang yang bodoh (untuk berfatwa).”