Kematian Mursi Picu Kekhawatiran terhadap Nasib Tawanan di Penjara Mesir
Kematian mengejutkan presiden pertama dan satu-satunya Mesir yang terpilih secara demokratis, Muhammad Mursi, di ruang sidang mengungkap kondisi mengerikan yang dihadapi para tawanan politik di negara itu.
Juru bicara Ikhwanul Muslimin Talaat Fehmi memperingatkan bahwa sekitar 60.000 nyawa tawanan dalam bahaya. Ia menggarisbawahi “pelanggaran hak asasi manusia yang kejam di penjara-penjara Mesir.” Fehmi juga mendesak Amerika Serikat (AS) agar melakukan sesuatu untuk para tawanan yang “dibunuh perlahan-lahan” di penjara oleh otoritas Mesir.
Setelah kematian mendadak Mursi pada 17 Juni, para pemimpin Turki telah mengecam penganiayaan terhadapnya dan menyatakan bahwa kematiannya bukan kecelakaan.
Amnesty International dan kelompok hak asasi manusia lainnya menyerukan penyelidikan yang adil, transparan dan komprehensif terhadap kematian Mursi dan mempertanyakan perlakuan terhadapnya di penjara.
Pemerintah Mesir menolak tudingan bahwa Mursi diperlakukan dengan buruk. Putra Mursi, Abdullah, menuduh Presiden Abdel Fattah el-Sisi dan sejumlah pejabat “membunuh” ayahnya.
Dalam sebuah tweet pekan lalu, putra mendiang presiden itu menyebutkan sejumlah pejabat, yang disebutnya “mitra” Sisi “dalam membunuh presiden yang mati syahid itu.” Ia khususnya menuduh petahana, mantan Menteri Dalam Negeri Mahmoud Tawfiq dan Magdy Abdel Ghaffar.
Pada tahun 2013, Menteri Pertahanan saat itu Jenderal Sisi memimpin kudeta militer berdarah, menggulingkan presiden Mesir pertama yang terpilih secara demokratis, Mursi.
Sejak saat itu, tindakan keras terhadap para penentang rezim –tidak hanya Ikhwanul Muslimin tapi siapa pun yang menentang el-Sisi– dimulai. Referendum konstitusi terbaru bulan lalu membuka jalan bagi Sisi untuk tetap berkuasa sampai 2030. Meskipun negara itu mengalami kesulitan dalam perbaikan ekonomi dan pelanggaran HAM menjadi semakin mengkhawatirkan.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia menyatakan kondisi di pusat-pusat penahanan, termasuk pasokan medis dan gizi tidak mencukupi. Demikian pula, dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Maged Mandour dan dipublikasikan oleh Sada –sebuah platform daring di bawah Carnegie International– diyakini bahwa pasukan keamanan Mesir sengaja “mengambil” makanan tawanan sehingga mereka akan mati kelaparan.
“Pada 2015, misalnya, Nadeem Center mendokumentasikan 81 kasus kematian di pusat-pusat penahanan karena pengabaian medis –terpisah dari 137 yang mereka catat telah langsung dibunuh di dalam pusat penahanan. Jumah ini tetap konsisten pada 2016, dengan 80 kasus. Sebelum itu, ada 170 kasus kematian yang terdokumentasi karena pengabaian medis mulai dari Juli 2013 hingga Mei 2015. Kecenderungan ini terus berlanjut, tujuh tahanan meninggal dunia karena pengabaian medis pada Januari 2019 saja,” tulis artikel itu.