DEPOT AREMANIA
Luthfi Bashori
21 Juni, di Pare Kediri Jatim. Dengan duduk di sebuah warung kecil di pojok jembatan, memberiku inspirasi untuk mengatakan bahwa Indonesia ini ternyata benar-benar sorga dunia. Tentunya, hal ini bisa dirasakan oleh kalangan orang yang hatinya benar-benar beriman, yang dapat menerima segala bentuk pemberian Allah, dan meyakininya sebagai rizqi yang telah dibagikan kepada para hamba-Nya.
`Lauknya apa Pak...?` tanya penjual. Akupun mencermati daftar menu yang disodorkan: `Anu buk, saya pesan Lalapan Wader..., tapi sambalnya jangan pedas-pedas...!`
Subhaanallah, beberapa saat kemudian, satu porsi nasi dengan lauk ikan wader telah tersedia di atas meja makan.
Al-wadru, wa maa adraaka mal wadru ? (Wader, tahukah kamu. apa itu wader?) . Tiga puluh tahun silam, aku sering mencari ikan wader di sungai.
Bahkan ada sebuah sungai di desaku yang airnya sangat jernih tempat mandi anak-anak seusiaku kala itu. Sering kali secara beramai-ramai kami menangkap ikan wader dengan menggunakan kain sarung.
Ada teman yang bertugas bagian memegang ujung kanan-kiri sarung, ada lagi yang memegang bagian belakang, dan tak kalah pentingnya ada teman yang bagian menghardik ikan dari depan dengan posisi agak jauh. Kerja sama yang kompak itu sering kali menghasilkan jebakan ikan yang cukup untuk dibagi bersama-sama.
Sepulang dari menangkap ikan wader, maka setiap anggota dapat berkreasi sendiri-sendiri dalam memperlakukan ikan wader hasil tangkapannya.
Seiring dengan perkembangan jaman, cara mengais rizqi model anak-anak itu telah ditinggalkan orang. Ikan wader pun kini sudah menaikkan gengsinya, yaitu dapat bersaing dengan jenis gurami, kakap, lele, patin, dan jenis ikan yang sering nongol dalam menu restoran.
Sambil menikmati ikan wader yang memang nikmat, minimal dalam standar lidahku, maka otakku terus berputar tak henti-hentinya sambil berpikir, ternyata ikan wader yang dulu tidak ada harga nominalnya, kini sudah menjadi komodite untuk dapat mengeruk keuntungan.
Bersyukurkah kita ? Jawabannya: yaa tergantung kitanya saja. Aku sendiri sangat bersyukur karena kini aku dapat menikmati salah satu ikan faforitku di saat masa kecilku, tanpa harus capai-capai mencari dulu di sungai.
Gurih-gurih pahit atau pahit-pahit gurih, barangkali begitulah khas ikan wader yang dapat aku rasakan.
Terlintas lagi dalam benakku, dulu saat aku hidup di Saudi Arabiyah selama delapan tahun, yaitu sejak tahun 1983-1991, tidak pernah telingaku ini mendengar info tentang keberadaan ikan wader di Saudi Arabiyah, apalagi orang jual ikan wader di sana.
Maka bangsa Indonesia harus bersyukur, karena diberi anugerah oleh Allah dengan keberadaan bermacam-macam jenis ikan air tawar termasuk wader.
Untuk itu kewajiban kita sebagi bangsa Indonesia adalah sedapat mungkin melestarikan lingkungan hidup, termasuk keaslian dan kebersihan sungai dari segala macam limbah yang dapat merusak ekosistem, dan secara otomatis menyebabkan kepunahan ma`asyiral ikan.
Alwadru, wamaa adraaka mal wadru ?
Kini wader sudah menjadi makanan berkelas.
Detik ini juga wader sudah masuk dunia internet.
Alhamdulillah. Mudah-mudahan tidak akan muncul fatwa haramnya makan ikan wader dari pihak manapun, hanya karena Nabi Muhammad SAW tidak pernah makan ikan wader. Amiiin...!
`Buk, dibungkuskan yaaa, ikan wadernya satu porsi ...!` teriakku.