JADI WAKIL RAKYAT JANGAN TULI
Aziz Muslim
Ketulian atau sering di sebut penyakit tuli, merupakan penyakit yang biasa dan lumrah di derita oleh banyak orang, hal ini disebabkan karena kurangnya tingkat kesadaran manusia untuk menjaga kesehatan tubuh, khususnya pada telinga. Akan tetapi, penyakit tersebut bisa kembali normal atau bisa disembuhkan dengan berbagai macam metode penyembuhan diantaranya adalah metode klinis dan alternatif. Dalam proses penyembuhan penyakit ini, kedua metode tersebut sering dijadikan pilihan bagi mereka yang terkena penyakit tersebut.
Tetapi dewasa ini sering dijumpai beberapa penyakit tuli yang tidak bisa disembuhkan dengan metode-metode di atas. Yaitu penyakit yang sering di derita oleh wakil rakyat kita. Kenapa hanya wakil rakyat saja yang dijangkiti penyakit tersebut? Sebenarnya hal ini merupakan ungkapan kekecewaan dari rakyat, sebab aspirasi mereka sering dikesampingkan atau diabaikan dan jarang terealisasikan dengan sempurna, sesuai dengan harapan yang diangan-angankan oleh rakyat.
Banyak yang menyebutkan, bahwa penyakit tersebut merupakan penyakit permanen, yang tidak akan pernah bisa sembuh serta tidak ditemukan obat penawarnya. Tetapi di dalam agama Islam, mengajarkan bahwa segala penyakit itu pasti memiliki obatnya. Maka obat untuk penyembuhan penyakit ini adalah dengan kelapangan dan ketulusan hati serta keikhlasan di dalam mewakili rakyatnya. Hal ini merupakan modal yang utama yang harus dimiliki oleh wakil rakyat. Dengan ketiga unsur tersebut, diharapkan dapat menjembatani hubungan rakyat dengan pemimpinnya, sehingga dengan hubungan yang baik, aspirasi rakyat bisa tersalurkan dan terealisasikan dengan baik dan sempurna.
Memang dalam hakikatnya telinga mereka bisa mendengar, tetapi sulit untuk direalisasikannya. Misalnya, banyak wakil rakyat yang tidak perduli akan penderitaan rakyat. Seperti halnya, mereka sering menampung segala aspirasi dari rakyat, tetapi mereka juga sering mengabaikan aspirasi tersebut, seolah-olah rakyat hanya dipermainkan saja dan di anggap tidak berguna. Memang ada satu atau dua aspirasi yang terealisasikan. Hal ini hanya digunakan oleh mereka untuk mengelelabui rakyat, dan juga digunakan sebagai kesempatan di dalam penyelewengan dan penghambur-hamburan uang anggaran, yang seharusnya anggaran tersebut disediakan untuk kesejateraan rakyat.
Maka tidak salah kalau banyak masyarakat yang menilai, para wakil rakyat yang duduk dikursi empuk sebagai anggota wakil rakyat banyak yang tuli dengan penderitaan rakyat. Bagaimana tidak, di saat rakyat dipusingkan dengan kemiskinan yang terus meningkat, dan ancaman PHK masal yang ada didepan mata akibat krisis global, teryata apa yang dilakukan wakil rakyat ini malah menghambur-hamburkan uang rakyat.
Semua ini bisa dilihat dari niat 100 anggota DPRD Jatim untuk mendapatkan jatah seragam dinas. Tak tanggung-tanggung, para anggota dewan yang terhormat itu mengalokasikan pengadaan jatah seragam dinas baru, dalam APBD 2009 sebesar Rp 4,2 milyar. Jumlah yang cukup membuat kita geleng-geleng kepala, untuk urusan seragam, yang setiap tahunnya selalu ganti baru. Yang lebih mengejukan lagi, anggaran yang diajukan itu teryata naik mencapai 300 persen karena APBD 2008 mengalokasikan Rp1,51 milyar.
Dengan peningkatan yang luar biasa itu, menunjukkan kalau mereka benar-benar tak paham dengan penderitaan yang dialami rakyat. Dalam kondisi seperti ini, seharusnya para wakil rakyat justru lebih konsentrasi memikirkan nasib rakyat yang telah mengusung mereka duduk dikursi dewan. Apalagi, menjelang pemilihan legeslatif (pileg) 2009, para politisi itu akan membutuhkan uluran tangan konstituen, supaya bisa mengantarkan mereka kembali duduk digedung yang megah yang berlokasi di Jl Indrapura itu.
Dalam etika demokrasi sendiri, selayaknyalah pemimpin dipilih langsung oleh rakyatnya. Memang ada kemungkinan lain, yakni rakyat memilih pemimpin melalui wakil-wakilnya di parlemen. Ini juga merupakan hal yang sah dan dapat dikatakan lebih praktis. Tetapi dalam prakteknya, cara ini sering bahkan senantiasa tidak aman dari distorsi kepentingan sesaat, dan malah menjadi kontraproduktif atas demokrasi itu sendiri. Suara wakil rakyat sering terbelit oleh mereka yang ngebet jadi pemimpin. Dan karena jumlah wakil rakyat itu terbetas, maka pelaku jual-beli suarapun sangat mudah dilakukan. Maka bentrok aspirasi antara rakyat dengan para wakilnya sendiri di parlemen pun akan terjadi.
Apabila suara rakyat ini sudah terbeli melalui wakil-wakilnya di parlemen, maka pada tataran inilah seorang pemimpin atau pejabat tidak lagi milik rakyat, tetapi rakyatlah yang dimiliki oleh pemimpin atau pejabat. Pemimpin berubah menjadi penguasa. Menguasai rakyat dan menguasai negara. Pemimpin atau pejabat yang menjadi penguasa, akan dengan sesuka hati boleh mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sebagian besar bukan demi rakyat, tetapi demi kepentingannya sendiri, demi kelanggengan kekuasaannya.
Demi kepentingan kelompok, bahkan yang lebih gila lagi demi kepentingan keluarga dan kerabatnya saja, yang dalam istilah menterengnya disebut kolusi dan nepotisme. Jadi, ketika pemimpin atau pejabat ini keberadaannya dari hasil pembelian suara, maka kedaulatan rakyat menjadi begitu tipis, gampang dilecehkan bahkan bisa dilenyapkan.
Rakyat yang kedaulatannya telah dilenyapkan, berarti rakyat yang boleh diperlakukan apa saja oleh para pemimpin atau pejabat. Tanpa kedaulatan, berarti rakyat adalah objek dari kepentingan pemimpin yang berubah menjadi penguasa. Padahal, dalam tatanan demokrasi rakyat adalah subjek, rakyat adalah pemilik, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Ketika pemimpin berubah menjadi penguasa, betapa nasib rakyat menjadi begitu riskan di segala aspek. Perekonomian nasional hanya menjadi monopoli kalangan tertentu yang dekat dengan penguasa. Rakyat dinihilkan dari akses-akses permodalan. Para pengusaha kecil yang hanya selalu menerima sisa-sisa dari para konglomerat yang dengan leluasa mengelola aset-aset ekonomi nasional. Pertanian, perindustrian, pertambangan dan sebagainya, diarahkan sesuai kepentingan ekonomi pemilik modal besar. Kepentingan ekonomi rakyat bahkan hanya menjadi tunggangan konglomerat yang menjadi kroni penguasa untuk membagi-bagi dana investasi yang disediakan negara.
Sangat ironis sekali memang, kita memilih para preman untuk menjadi wakil rakyat yang diharapkan akan berpihak pada rakyat. Maka, jangan heran kalau setelah jadi wakil rakyat nanti, kebijakan-kebijakan atau undang-undang yang diterbitkan hanyalah yang berpihak pada kepentingan masing-masing pribadi. Benar-benar lingkaran setan yang sangat sulit untuk diputus, untuk menjadi wakil rakyat harus punya banyak uang untuk memuluskan jalan maka ketika jadi wakil rakyat, uang rakyat pun dipakai sebagai pengembalian modal yang di setor pada saat pendaftaran dulu. Lagi-lagi rakyatlah yang jadi korban. Kasihan sekali bangsa ini.
Maka jangan sampai, rakyat yang saat ini sudah berani teriak saat dikibuli, hanya menjadi alat bagi mereka untuk duduk di kursi empuk dewan. Karenanya, tidak salah jika nantinya, dalam pileg 2009, rakyat sudah bisa apatis dengan para wakil rakyatnya yang hanya lihai menggeruk uang rakyat. Dan tidak salah pula, kalau rakyat yang saat ini mulai cerdas. Tidak mau mengulangi lagi kesalahan sebelumnya, yang telah memilih wakil rakyat yang teryata hanya lihai membuat anggaran besar untuk diri mereka, sementara buta dan tuli untuk melihat serta mendengar berbagai penderitaan yang dialami olah rakyat.
Akan tetapi, sebagai bangsa yang cerdas yang sanggup memilih dan memilah. Jangan samakan semua politikus lantaran banyak isu busuk tentang politik. Coba lihat lebih dekat untuk mengenalnya. Mungkin saja ada segelintir orang yang sudah berusaha keras memperbaiki bangsa kita dengan berbagai cara perpolitikan yang sehat. Mulai dengan membuat parpol, ikut kancah perpolitikan, dan dengan terus menjaga hati serta meluruskan niat, sehingga tidak gugur di tengah jalan lantaran terlena harta dunia yang di dapat. Segelintir orang tersebut perlu dukungan orang-orang yang serius ingin membangun indonesia baru dan mengembalikan citra bangsa di mata dunia.
Medio Pemilu Caleg 9 April ,PIQ