DUSTA YANG DIPERBOLEHKAN
Luthfi Bashori
Berdusta itu adalah perbuatan tercela, dusta juga sering mengakibatkan dirinya sengsara, bahkan dapat menyengsarakan orang lain. Dusta itu hukumnya haram dan pada para pelakunya dapat menimbulkan sifat kemunafikan.
Namun ada juga perbuatan dusta yang diperbolehkan dalam kondisi tertentu, karena bertujuan demi kemaslahatan bagi umat Islam.
Imam Nawawi RA. berkata, “Ketahuilah bahwa sekalipun dusta itu diharamkan, dan tidak boleh melakukannya dalam segala keadaan, sesuai dengan syarat-syarat yang telah saya jelaskan dalam kitab Al-Adzkar, namun ada juga dusta yang diperbolehkan.
Secara ringkas dikatakan bahwa pembahasan kali ini adalah seputar perantara untuk mencapai berbagai tujuan. Setiap tujuan terpuji yang bisa dicapai tanpa berdusta, maka diharamakan berdusta untuk mencapainya. Sebaliknya jika tujuan itu tidak dapat tercapai kecuali hanya dengan berdusta, maka diperbolehkan berdusta. Kemudian bila tujuan yang ingin dicapai itu mubah, maka dusta itu mubah. Dan jika tujuan dusta itu wajib maka dusta itu menjadi wajib.”
Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya tentang hal ini. Jika seorang muslim bersembunyi dari orang dzalim yang ingin membunuhnya, atau mengambil hartanya, atau si dzalim sedang mencari seorang muslim yang menyembunyikan harta pribadinya yang akan dirampas, lantas ditanya tentang keberadaan muslim tersebut, maka orang yang ditanya itu wajib berdusta untuk menyelamatkan muslim itu. Begitu pula andaikata seorang muslim menjaga titipan orang lain, lantas ada orang dzalim yang ingin mengambilnya, wajiblah ia berdusta untuk merahasiakannya.
Namun untuk lebih berhati-hati dalam semua ini, hendaklah dustanya itu dengan cara mengucapkan perkataan sindiran, yaitu mengarahkan perkataannya untuk tujuan benar yang sekira bukan dusta menurut dirinya, meskipun berdusta pada dhahir perkataannya menurut yang difahami oleh orang yang diajak bicara. Andai kata ia tidak mengucapkan kata sindiran dan mengucapkan perkataan dusta, maka tidaklah haram dalam keadaan seperti ini.
Para ulama berdalil atas bolehnya berdusta dalam keadaan seperti itu, dengan hadits Ummi Kultsum RA bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Bukanlah pendusta itu orang yang mendamaikan di antara orang-orang yang berselisih, lalu mengharapkan kebaikan atau mengucapkan perkataan-perkataan yang baik.” (Muttafaq ‘Alaihi).
Dalam suatu riwayat Ummu Kultsum berkata, “Dan aku tidak mendengarnya memberi keringanan pada perkataan dusta yang di ucapkan manusia kecuali dalam tiga keadaan, yakni perang, mendamaikan di antara orang-orang yang berselisih, pembicaraan suami kepada istrinya, dan pembicaraan istri kepada suaminya (untuk untuk mencapai kedamaian).