Singosari, kota yang terletak kurang lebih 10 km dari jantung kota Malang, pada hakekatnya adalah sebuah kecamatan yang tergolong unik. Nama Singosari sebenarnya tidaklah asing bagi penduduk Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan sekolah formal, sebab di dalam buku sejarah Indonesia selalu tertera sejarah ringkas kerajaan Singosari.
Dua puluh tahunan yang lalu, tatkala saya menginjakkan kaki di Tanah Suci Makkah al Mukarramah untuk menimba ilmu agama, saya bertemu dan berkenalan dengan seorang mukimin yang berasal dari kota Pare-pare Sulawesi, kota kelahiran Bapak B.J. Habibi, mantan presiden ke-tiga republik ini. Dalam perkenalan tersebut saya ditanya tentang asal tempat kelahiran, maka sayapun dengan ringan menyebutkan bahwa saya berasal dari kota Singosari. Mendengar jawaban saya yang terasa tanpa beban itu, secara sepontan ia berujar : " Ooo... Singosari-nya Ken Arok yang di sejarah itu ya ?". Demikianlah lantas kamipun mulai asyik membahas seputar keadaan Singosari.
Sebagai warga asli Singosari, tentunya saya selalu membanggakan keadaan daerah kelahiran, dan apa yang saya ceritakan sesuai dengan keadaan di tahun 1983-an, di mana Singosari adalah sebuah desa yang tentram, dingin, dengan penduduk yang sopan dan sangat agamis. Sebagai warga NU, sayapun tak lupa menceritakan bagaimana kultur NU yang sangat melekat dalam tatanan kemasyarakatan warga Singosari.
Tentunya, NU yang saya maksudkan di sini adalah NU yang masih mengacu kepada Qonun Asasi Jamiyyah, yang mana di antara isinya adalah bahwa fatwa-fatwa para kyai NU yang boleh disampaikan kepada masyarakat adalah fatwa yang berlandaskan qoul mu`tamad (pendapat terkuat) atau pendapat Jumhurul Ulama (mayoritas ulama salaf) yang diambil dari pendapat empat madzhab, bukan fatwa yang mengedepankan kepentingan politik maupun pribadi, sehingga berani berdalil dengan pendapat yang syadz (tertolak/lemah), atau bahkan berdalil dengan pemikiran sendiri tanpa ada rujukan satu kitabpun. Saya juga bercerita, bahwa masyarakat Singosari masih konsisten dengan adat bersarung dan berkopyah di dalam menjalani hidup sehari-hari. Para muslimatpun selalu menutup aurat jika keluar rumah. Bahkan ada satu kaedah yang tidak tertulis beredar di kalangan masyarakat saat itu, yaitu : "Jangan mengaku sebagai warga Singosari, apabila tidak bisa menjadi imam shalat berjamaah, dengan bacaan al Quran yang benar dan fashih".
Singosari, dengan segudang ulama dan pondok pesantren serta ribuan santrinya, ternyata tidak cukup ampuh untuk mencegah maraknya judi togel, minuman keras, pornografi/aksi, serta kebudayaan non islami. Hingga saat ini, masih terus bermunculan lembaga-lembaga pendidikan formal maupun swasta dengan berbagai status kelembagaannya, baik yang berlogo Islam maupun yang tidak menggunakan logo Islam. Demikian halnya juga dengan pondok-pondok pesantren maupun majelis-majelis ta`lim yang menurut daftar di kantor kecamatan sebanyak 18 buah. Jumlah ini relative akan membengkak jika diadakan survey ulang.
Singosari juga telah banyak mencetak tokoh-tokoh yang bertaraf nasional, dan bahkan intrenasional. Sebut saja di antaranya, KH. Masykur dan KH. Tholha Hasan (mantan menteri agama), KH. Bashori Alwi (pendiri Jam`iyyatul Qurro wal Huffadz yang menjadi cikal bakal MTQ Nasional, termasuk dewan juri yang mewakili Indonesia pada MTQ tingkat Internasional), Bpk. H. Abdullah Alwi atau yang sering dikenal dengan panggilan A.A.
Murtadla, -adik kandung KH. Bashori Alwi- (sebagai mantan Duta Besar R.I di Kuwait, Karaci dan Irak), Bpk. H. Said Budairi (pendiri PMII dan penggagas berdirinya Lakpesdam, salah satu LSM milik NU), Bpk. Wildan bin Adnan dan Ibu Miftahul Jannah binti Saidun (mantan qori` dan qori`ah nasional), Bpk. Taufik Hidayat (salah satu kader Muhammadiyyah dan mantan ketua HMI pusat). Nama-nama tersebut hanyalah sebagian saja yang bisa saya sebutkan pada tulisan ini. Di sana juga terdapat seorang tokoh yang menjadi sentral rujukan warga Singosari di dalam ritual keberkahan dan diyakini sebagai salah satu waliyullah yang hingga kini maqam beliau selalu dikunjungi masyarakat, beliau adalah KH. Thohir atau yang lebih terkenal dengan julukan Mbah Thohir, Bungkuk.
Realita ini semakin membuat takjub para pemerhati sejarah yang mungkin akan sulit untuk menemukan tandingan kota Singosari di seluruh Indonesia, yaitu bahwasanya Singosari di jaman dahulu dikenal sebagai kerajaan Hindu yang kekuasaannya hampir mencapai seluruh Nusantara, kini Singosari sebagai satu wilayah kecamatan, memiliki masjid Jami` berlantai empat dengan arsitektur bangunan yang sangat megah.
Adakah di wilayah kecamatan lain yang memiliki masjid dengan empat lantainya? Tentunya pertanyaan ini sulit untuk dijawab.
Namun, cerita yang saya sampaikan saat itu bukanlah keadaan Singosari saat ini, yang telah berubah menjadi sebuah kota dengan segala kemacetan lalu lintasnya, atau hingar bingar Expo di pusat kerajinan Kendedes, dengan konser musiknya yang bertolak belakang dengan ajaran kitab-kitab kuning dan ajaran para sesepuh masyarakat Singosari, dan bukan pula cerita tentang para penyanyinya yang sudah tidak risih lagi dengan pakaian yang sedikit mengumbar aurat dengan mendendangkan lagu-lagu erotis yang membangkitkan impian birahi para pendengarnya, yang mana kegiatan expo tersebut merupakan agenda pemerintah dan diresmikan oleh Bupati Malang, atau berserakannya spanduk-spaduk promosi yang seakan mengesankan betapa konsumtif dan materialisnya masyarakat Singosari dewasa ini.
Demikian halnya, organisasi NU memiliki banyak ulama, cendekiawan dan tokoh-tokoh besar yang bertaraf nasional maupun internasional yang kini tersebar di seluruh Indonesia.
Tokoh-tokoh tua masih cukup mempunyai pengaruh dan potensi menjabat di dalam kepengurusan NU dan di lembaga-lembaga lainnya. Juga, tokoh-tokoh muda NU, baik yang berlatar belakang pendidikan dalam negeri maupun luar negeri, kini mulai menunjukkan keberadaannya dengan segala nilai kedinamisannya. Salah satu kontribusi yang disumbangkan NU bagi negeri ini adalah di bidang pendidikan. Telah banyak lembaga pendidikan yang bernaung di bawah bendera NU, mulai dari lembaga pendidikan pra sekolah sampai tingkat universitas yang melibatkan sekian banyak kader NU.
Demikian juga dengan pondok pesantren dan majlis ta`lim yang semuanya itu berorientasi kepada pembinaan kualitas umat. Sekalipun demikian, masih banyak warga NU yang taraf pendidikannya tergolong rendah, baik pendidikan formal maupun pemahaman agamanya. Hal ini terbukti dengan cara warga NU di dalam menyikapi fenomena perpolitikan yang kini tengah berkembang.
Banyak warga NU yang lebih mengedepankan fanatisme figuritas di dalam memilih pemimipin nasional dari pada memikirkan kemaslahatan umat maupun kepentingan terlaksananya program-program jam`iyyah (organisasi) yang lebih memberi manfaat bagi keberlangsungan kehidupan keagamaan NU dan warganya. Di antaranya adalah misi NU sebagai pemersatu umat khususnya yang berakidahkan Ahlus sunnah wal jamaah, dan rakyat Indonesia pada umumnya. Kini imbas dari adanya dukung mendukung calon pemimpin nasional tersebut adalah terjadinya keadaan yang mengarah kepada perpecahan di kalangan warga NU maupun bangsa Indonesia pada umumnya.
Kini yang menjadi kegalauan pemikiran saya, mengapa potensi-potensi yang sedemikian besar, baik yang berkembang di wilayah Singosari, sebagai tanah kelahiran, maupun di dalam tubuh NU sebagai organisasi tempat saya bernaung, banyak mengalami perubahan-perubahan yang cukup mendasar. Perubahan-perubahan tersebut adalah surutnya nilai akhlak dari apa yang dahulu dicontohkan oleh para sesepuh di dalam membina mayarakat, yang mana mereka selalu mengarahkan masyarakat agar menjalani kehidupan di dunia secara baik demi menuju keberuntungan kehidupan akherat, dengan merujuk kepada al Quran, as Sunnah, dan ajaran para ulama salaf.
Dekadensi moral yang kini sudah hampir menyentuh titik dasar, terbukti dengan banyaknya umat Islam yang tidak malu dan takut lagi berbuat dosa; banyaknya tokoh masyarakat maupun tokoh pemerintah yang materialistik, yang lebih mengedepankan kepentingan pribadi dari pada kemashlahatan umat; bermunculannya fatwa-fatwa penghalalan hukum terhadap masalah yang sudah jelas keharamannya yang disertai dengan berbagai argumentasi sebagai alat penbenaran atas fatwa-fatwa tersebut. Perubahan inilah yang sering menganggu pemikiran saya, dan tentunya juga mengganggu pemikiran jutaan `saya-saya` yang lain.
Seiring dengan akan diadakannya pesta demokrasi pemilihan presiden secara langsung, maka saya dan jutaan saya-saya yang lain, sangat berharap bisa mendapatkan pemimpin-pemimpin bangsa yang mampu mengembalikan citra moral dan akhlak masyarakat kepada prilaku yang baik, lebih mengedepankan kemaslahatan akherat dari pada kepentingan duniawi, termasuk juga membenahi apa yang saat ini terjadi di wilayah kota Singosari. Saya selalu berdoa kepada Allah swt semoga para pejabat pemerintah yang bertugas di Singosari, mempunyai pemikiran yang sama dengan saya, yaitu akan memperjuangkan secara konstitusional dengan menjadikan Singosari sebagai kota SANTRI, kepanjangan kata dari " Sehat – Aman – Nyaman – Tentram – Rapi – Islami " sehingga segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam bisa terkikis habis dari wilayah kota Singosari.
Tentunya saya juga mendambakan agar Jam`iyyah (organisasi) NU dipimpin seorang ulama kharismatik, yang mampu memisahkan kepentingan pribadi dan politik di dalam mengemban tugasnya sebagai pimpinan jam`iyyah, serta selalu mengarahkan umat kepada ajaran al Quran dan as Sunnah, serta ajaran para ulama salaf. Seorang pemimpin yang mampu mengayomi seluruh warga NU tanpa pandang bulu.
Seorang pemimpin yang selalu memperjuangkan kemurnian NU sesuai dengan kaedah Qonun Asasi Jam`iyyah tanpa banyak tafsir dan takwil, sebagai upaya pembenaran terhadap langkah-langkah yang salah dalam kacamata hukum Islam dengan berpegang teguh kepada fiqih empat madzhab yang mu`tamad. Seorang pemimpin yang mampu mengajak tokoh-tokoh NU khususnya para pengasuh pesantren untuk kembali ke basis pendidikan guna membimbing anak didiknya sebagai generasi penerus dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan umat pada umumnya. Semoga Allah swt mengabulkan.
* Penulis adalah alumni al Haramain (Makkah - Madinah 1983-1991), warga NU, aktif di berbagai pergerakan Islam, ketua FORMAIS (Forum Masyarakat Islam) Singosari, dan pengasuh pesantren RIBATH AL MURTADLA AL ISLAMI Singosari.
(pejuangislam)