JANGAN ASAL BICARA, BISA BERBAHAYA AKIBATNYA !
Luthfi Bashori
Jaman Now adalah jaman bicara dan menulis. Jaman bebas menyampaikan aspirasi kepada publik yang seakan-akan tanpa batas, baik itu disampaikan secara langsung, terlebih ide dan pemikiran yang disampaikan lewat dunia maya. Maka adakalanya yang perlu diwaspadai namun banyak juga juga yang perlu disyukuri.
Walapun demikian, jika dipelajari secara seksama, maka hakikatnya ada batas-batas tertentu dalam tata cara menyampaikan aspirasi itu yang telah diatur oleh syariat Islam.
Sy. Abu Hurairah RA mengatakan Nabi Muhammad SAW bersabda, “Seseorang yang mengatakan sesuatu yang belum jelas baginya (baik hakikat maupun akibatnya), maka ia akan terlempar ke neraka sejauh Timur dan Barat.” (HR. Muslim).
Contoh ringan yang telah digariskan oleh Rasululah SAW dalam pergaulan, misalnya, khusus terkait dengan sebuah ucapan, sebagaimana Sy. Abu Hurairah RA menginformasikan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian mengatakan, ‘Abdi (budakku),’ karena kalian semua adalah Abdullah (budak atau hamba Allah). Akan tetapi, katakanlah, ‘Fataya (pemuda atau pelayanku)’ dan janganlah seorang pelayan memanggil majikannya dengan sebutan, ‘Rabbi (Tuhanku),’ tetapi ucapkanlah, ‘Sayyidi (majikanku atau tuanku).’ (HR. Muslim).
Untuk tata cara atau metode berbicara yang baik juga telah diajarkan oleh syariat jika diteliti dengan jeli, seperti yang dituturkan oleh St. Aisyah RA, “Rasulullah SAW tidak pernah berbicara seperti cara kalian berbicara yang sangat cepat ini. Beliau senantiasa berbicara dengan jelas dan terperinci sehingga orang-orang yang duduk bersama beliau dapat menghafalnya.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, Abu Dawud, dan Abu Syaikh).
Sy. Hasan bin Ali RA mengungkapkan bahwa ia pernah bertanya kepada pamannya, Hindun bin Abi Halah, yang sangat pandai menggambarkan sesuatu, “Ceritakanlah kepadaku bagaimana cara Rasulullah berbicara.”
Sy. Hindun bin Abi Thalib RA menyatakan, “Rasulullah adalah seorang yang kelihatan selalu prihatin dan senantiasa berpikir. Beliau SAW lebih banyak diam dan berbicara seperlunya. Beliau SAW memulai dan mengakhiri pembicaraan dengat menyebut nama Allah. Ucapan beliau selalu padat, detail, dan jelas. Tidak lebih dan tidak kurang. Tidak kasar dan tidak merendahkan. Beliau selalu mensyukuri nikmat walaupun sedikit dan sama sekali tidak pernah mencelanya.” (HR. At-Tirmidzi).
Jadi, mengajak berkomunikasi orang lain itu ada seninya. Adapun seni berbicara yang mengikuti ajaran syariat, sangat tepat untuk dipelajari khususnya bagi para da’i, serta bagi setiap orang Islam yang ingin menasehati pihak lain, seperti saat mengajak kebaikan kepada keluarganya untuk melakukan kebaikan atau mencegah kemunkaran.
Karena itu, banyak diriwayatkan dalam hadits-hadits yang ditulis oleh para ulama, bahwa Rasulullah SAW itu seringkali jika berbicara maka beliau SAW mengulangi ucapannya itu hingga tiga kali.
Sy. Anas bin Malik RA mengutarakan, “Apabila menyatakan sesuatu, Rasulullah SAW selalu mengulanginya tiga kali, sampai dipahami oleh orang yang mendengarnya.” (HR. Al-Bukhari).
Demikian juga dari segi yang lain, Sy. Ali bin Abi Thalib RA menerangkan, bahwa Rasulullah SAW tidak pernah berbicara, kecuali tentang sesuatau yang bermanfaat. Beliau SAW lebih senang menarik hati manusia, bukan menakut-nakuti mereka.” (HR. At-Tirmidzi).
Untuk memilih gaya bahasa saat berbicara dengan pihak lain juga, ada aturan main tersendiri yang semestinya dipahami oleh umat Islam. Sebagaimana St. Aisyah RA menuturkan, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kami, khususnya para nabi diperintahkan untuk menempatkan orang sesuai dengan kedudukan dertajanya, dan berbicara dengan mereka sesuai dengan tingkat pemahaman (intelektual) akal mereka.” (HR. Abu Dawud).
Sy. Ibnu Abbas RA juga menyatakan, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Seseorang yang berbicara kepada suatu kaum dengan perkataan yang tidak dapat dipahami oleh mereka, maka hanya akan menimbulkan fitnah terhadap sebagian mereka.” (HR. Abu Nu’aim).
Termasuk yang perlu dihindari oleh umat Islam adalah, janganlah berbicara atau berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan fitnah atau menyinggung hati saat bergauil di tengah masyarakat, walaupun dalam urusan yang ringan. Seperti yang disampaikan oleh Sy. Ibnu Mas’ud RA, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Jika kalian bertiga, tidak boleh dua orang berbisik-bisik tanpa mengikutsertakan orang yang ketiga. (Juga jangan berbisik-bisik) apabila kalian bercampur dengan orang banyak. Sebab, hal itu bisa menyinggung perasaan mereka.” (HR. Jama’ah Ahli Hadits).