LARANGAN MEMOHON AMPUNAN BAGI ORANG KAFIR
Sy. Sa’id Ibnul Musayyib RA menceritakan, sewaktu Sy. Abu Thalib RA menjelang wafat, Nabi Muhammad SAW mendatanginya dan menjumpai Abu Jahal dan Abdullah ibnu Umayyah ibnul Mughirah telah lebih dulu di sisinya.
“Wahai pamanku, ucapkanlah tiada Tuhan selain Allah, yaitu suatu kalimat yang kelak aku akan menjadi saksinya bagimu di hadapan Allah.” pinta Rasulullah SAW.
Namun Abu Jahal dan Abdullah ibnu Umayyah menyatakan, “Hai Abu Thalib, apakah engkau benci terhadap agama Abdul Mutthalib?”
Nabi Muhammad SAW terus mengajak pamannya bersyahadat, namun kedua orang itu pun mengulangi kata-kata tersebut kepadanya. Sehingga akhir perkataan yang diucapkan Sy. Abu Thalib adalah bahwa ia berada dalam agama Sy. Abdul Muthalib.
Maka Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ingatlah, demi Allah, aku benar-benar memohonkan ampun untukmu selagi aku tidak dilarang.
Maka turunlah firman Allah SWT yang artinya, “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musryik itu adalah kaum kerabatnya, setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musryik itu penghuni neraka jahanam. (QS. 9 / At-Taubah: 113).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Secara dhahir, ayat ini telah menerangkan bahwa seorang muslim itu tidak boleh memohonkan ampunan kepada Alla bagi orang-orang kafir. Bahkan jika orang kafir tersebut adalah ayah dan ibu kandungnya sendiri. Baik saat orang kafir itu masih hidup maupun sesudah meninggal dunia.
Orang kafir yang masih hidup, jika berkelakuan baik, maka boleh didoakan agar mendapat hidayah hingga masuk Islam. Atau didoakan agar urusan dunia semacam bisnisnya menjadi lancar, tapi haram bagi seorang muslim untuk mendoakan keselamatan bagi orang kafir, karena semua orang kafir itu tidak ada yang selamat di hadapan Allah.
Adapun khusus membahas tentang Sy. Abu Thalib, maka terjadi khilafiyah di antara para ulama, ada yang berpendapat bahwa Sy. Abu Thalib tetap kafir, namun ada pula yang mengatakan bahwa beliau itu telah masuk Islam.Â
Seorang ulama asal Makkah, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan di dalam kitab karangannya, Asnal mathalib fi najati Abi Thalib, mengatakan bahwa Sy. Abu Thalib itu hakikatnya telah masuk Islam, namun sengaja menyembunyikan keislamannya di hadapan kaum kafir Quraisy, karena beliau mengkhawatirkan keselamatan sang keponakan yang tercinta, yaitu Rasulullah SAW yang selalu mendapatkan tekanan dari kaum kafir Qurasy dengan sangat keras.
Rasulullah SAW selalu mendapatkan perlindungan dari pamandanya, Sy. Abu Thalib, maka dengan perlindungannya itu Rasulullah SAW dapat menyampaikan wahyu Allah, dan di saat itulah hakikatnya Sy. Abu Thalib telah mengimani kebenaran agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW.