NILAI FATWA KAUM RUWAIBIDHAH
Luthfi Bashori
Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Seseorang itu tidak boleh menjawab semua pertanyaan yang ditanyakan kepadanya.”
Beliau juga mengatakan bahwa, manusia itu tidak boleh memberanikan diri untuk berfatwa hingga ia memiliki lima hal.
PERTAMA: Ia harus mempunyai niat yang ikhlas karena Allah SWT dan tidak bertujuan menjabat kepemimpinan dan sebagainya. Jika ia tidak mempunyai niat yang baik, maka ia tidak mempunyai cahaya dan juga pembicaraannya tidak mempunyai cahaya (petunjuk). (Imam Ahmad bin Hanbal).
Saat ini banyak sekali fatwa yang dicetuskan oleh kalangan kaum Ruwaibidhah yang bertebaran di tengah masyarakat, khususnya di dunia medsos.
Sedangkan kaum Ruwaibidhah itu adalah orang-orang dari kalangan awam yang tidak mendalami ilmu-ilmu terkait syariat Islam, mulai dari ilmu ketatabahasaan Arab, seperti ilmu alat semacam Nahwu, Sharaf, I’lal, I’rab dan sebagainya, hingga ilmu terkait Alquran seperti Tajwid, Tafsir, Asbabun nuzul, Gharaibul Quran, dan sebagainya, maupun ilmu Hadits seperti ilmu Riwayah dan Dirayah, atau yang terkait dengan ilmu Fiqih seperti perbedaan pendapat antar imam madzhab fiqih, Ijma ulama, Qaul mu’tamad, Qaul qadim dan jadid, demikian dan seterusnya.
Keluarnya fatwa dari kaum Ruwaibidhah ini adakalanya dilakukan hanya karena iseng semata, namun banyak juga dihasilkan karena ada pesanan dari pihak tertentu, yang kebetulan oknum dari kaum Ruwaibidhah itu sedang menjabat di sebuah ormas dengan menduduki jabatan tinggi yang terhitung laku untuk “diperjual-belikan”.     Â
KEDUA: Ia harus bijaksana, berwibawa dan memiliki ketenangan. Kalau tidak, ia tidak akan mampu melakukan tugasnya untuk menjelaskan hukum-hukum syar’iyah. (Imam Ahmad bin Hanbal).
Umumnya kaum Ruwaibidhah itu tidak memiliki sifat bijak maupun kewibawaan yang cukup. Karena itu pihak-pihak jahat yang akan memanfaatkan keberadaan kaum Ruwaibidhah, sangat mudah untuk bernegoisasi hingga keluar fatwa keagamaan yang sesuai harapan pemesannya.
KETIGA: Ia harus kuat dalam menjalankan tugasnya dan pengetahuannya. Kalau tidak, ia pun telah membiarkan dirinya menghadapi bahaya besar. (Imam Ahmad bin Hanbal).
Seringkali kaum Ruwaibidhah itu bertindak secara serampangan dan asal-asalan, hingga tatkala fatwa mereka sudah tersebar di tengah masyarakat, dan ternyata fatwanya itu salah dalam status hukumnya, maka akan semakin membingungkan umat, bukannya memberi solusi yang terbaik. Padahal hakikat kesalahan dalam berfatwa itu akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah.
KEEMPAT: Keadaan cukup. Kalau tidak, ia dibenci orang banyak, karena membutuhkan bantuan orang-orang dan mengambil harta milik mereka, hingga mereka terganggu olehnya. (Imam Ahmad bin Hanbal).
Umat Islam sudah sering mendengar bahwa ada dari kalangan kaum Ruwaibidhah yang berani mengeluarkan fatwa kontroversinya, hanya karena sedang mengajukan proposal pengajuan dana kepada pihak tertentu, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompoknya saja, tanpa mengindahkan kepentingan umat Islam yang jauh lebih besar.
KELIMA: mengenali orang-orang dengan memahami tipu daya mereka agar bisa berhati-hati hingga tidak menjerumuskannya dalam bahaya. (Imam Ahmad bin Hanbal).
Kaum Ruwaibidhah umumnya tidak memperhatikan kapan sebuah fatwa itu harus dikeluarkan, dan kepada siapa fatwa itu harus disampaikan. Gemparnya sebuah fatwa salah yang keluar dari kalangan Ruwaibidhah, justru lebih sering terjadi karena tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi di tengah masyarakat. Maka seringkali punya hanya kekonyolan dan kegaduhan saja yang mencuat di tengah masyarakat, akibat keluarnya fatwa dari kalangan Ruwaibidhah tersebut.